Sabtu, 30 Oktober 2010

PSIKOLOGI KELOMPOK

PSIKOLOGI KELOMPOK

KELOMPOK:

MARISSA(10508128)
DYAH ANGGRAENI
ANDI SITI.N
FERONIKA INDAH


Kata Pengantar

Pertama-tama kami ucapkan terima kasih dan panjatkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena denganNya, makalah Psikologi kelompok dapat terselesaikan.
Tujuan makalah ini dibuat untuk tambahan pengetahun tentang konflik kelompok dalam negeri maupun luar negeri dan menambah nilai sebagai tugas mata pelajaran psikologi kelompok. Oleh karena itu kami menyampaikan terima kasih kepada sumber – sumber yang sudah membantu kami dalam pembuatan makalah ini hingga selesai.
Demikianlah makalah ini kami buat dengan apa adanya. Oleh karena itu kami mohon maaf sebesar - besarnya bila ada kesalahan tulis, ejaan, nama, gelar, maupun kesalahan-kesalahan lain baik yang kami sadari maupun yang tidak kami sadar.


BEKASI,OKTOBER 2010

PENDAHULUAN

Konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. Konflik sosial tidak hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan, dan masalah kekuasaan, tetapi emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik. Bentuk dan sifat konflik dalam kehidupan sosial tidak selalu sama. Terdapat variasi dalam konflik, baik menyangkut bentuk, sifat, maupun penyebab terjadinya sehingga cara penyelesaiannya pun berbeda. Dalam persoalan konflik konteks struktur dan fungsi kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan harus diperhatikan, karena masyarakat sebagai suatu unit entitas akan sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan kelangsungan konflik.
Peter M. Blau (1977) menyatakan bahwa struktur adalah penyebaran secara kuantitatif warga komunitas di dalam berbagai posisi sosial yang berbeda yang mempengaruhi hubungan diantara mereka (termasuk di dalamnya hubungan konflik). Karakteristik pokok dari struktur yaitu adanya tingkat ketidaksamaan antar bagian dan konsolidasi yang timbul dala, kehidupan bersama sehingga mempengaruhi derajat hubungan antar bagian tersebut yang berupa dominasi, eksploitasi, konflik, persaingan, dan kerjasama. Blau mengelompokkan basis parameter pembedaan struktur menjadi dua, yaitu nominal dan gradual. Parameter nominal membagi komunitas menjasi sub-sub bagian atas dasar batas yang cukup jelas, seperti agama, ras, jenis kelamin, pekerjaan, marga, tempat kerja, tempat tinggal, afiliasi politik, bahasa, nasionalitas, dan sebagainya. Pengelompokan nominal ini bersifat horisontal dan akan melahirkan berbagai ’golongan’. Adapun parameter gradual membagi komunitas ke dalam kelompok sosial atas dasar peringkat status yang membedakan perbedaan kelas, seperti pendidikan, pendapatan, kekayaan, prestise, kekuasaan, otoritas, intelgensia, dan sebagainya. Pengelompokan ini bersifat vertikal dan akan melahirkan berbagai stratifikasi atau lapisan sosial. Atas dasar struktur sosial tersebut, maka interaksi antarbagian dalam kehidupan bersama dapat terjadi antar kelompok baik atas dasar parameter nominal maupun parameter gradual, bahkan tidak hanya secara internal tetapi juga secara eksternal. Interaksi sosial antarbagian dalam kehidupan sosial atas dasar parameter nominal dan gradual tersebut potensial menimbulkan konflik baik antar individu mapun kelompok yang menjadi anggota dari ’golongan’ atau ’lapisan sosial’ tertentu. Dahrendorf (1986) mengemukakan bahwa konflik sosial mempunyai sumber struktural, yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial. Dengan kata lain, konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut keabsahan hubungan kekuasaan yang ada atau dari struktur sosial setempat.


DATA


1. JURNAL PERAN SERTA MASYARAKAT DAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI INDONESIA.

Jurnal ini mencoba untuk menjelaskan dua kasus konflik di Aceh dan Maluku yang benar-benar intensif dan melibatkan banyak pihak. Ada dua aspek yang dipelajari, pertama, aspek memicu dan menyebabkan panjang berlarut-larut konflik di daerah kedua yang. Kedua, program strategis yang menekankan peran serta masyarakat dan dukungan tentang lembaga negara digunakan membangun stabilitas politik.
pemerintah dan rakyat Indonesia dihadapkan kepada situasi baru pasca konflik yang meninggalkan sejumlah masalah yang rumit. Khususnya pasca konflik di Aceh dan Maluku, telah meninggalkan pengalaman traumatis, problema besar yang di hadapi adalah rusaknya pranata sosial budaya dan infra struktur dalam kehidupan di daerah konflik. Karena itu, sangat diperlukan strategi yang tepat untuk membangun kembali stabilitas politik dengan melibatkan peran serta masyarakat dan negara untuk pemulihan (recovery) pasca konflik. Dari berbagai konflik dengan klasifikasinya ada beberapa masalah pasca konflik yang dapat diidentifikasi, baik dari segi ekonomi, hukum, politik dan sosial budaya, di antaranya:
1. Hancurnya sumber-sumber kehidupan, harta serta mata pencaharian penduduk di daerah konflik yang menimbulkan beban berat bagi pemerintah pusat.
2. Ketidakpastian keamanan dan lemahnya jaminan hukum menyebabkan terjadinya pengungsian massal guna menghindari korban konflik.
3. Kebebasan demokrasi menjadi tidak sehat, karena dalam prosesnya di warnai politik kekerasan dari penguasa, elit politik dan masyrakat.
4. Terjadinya perilaku politik yang bersifat egosentris dan komunal di kalangan elit lokal menciptakan ketidak harmonisan berbagai element masyarakat.
5. Terjadinya intervensi ’asing’ secara sistematis di kawasan konflik, untuk menggoyahkan eksisitensi ideologi dan kedaulatan wilayah negara.
6. Timbulnya rasa takut, curiga berkepanjangan, menguatnya komunalisme, kedaerahan dan disharmonisasi kelompok masyarakat.
7. Hancurnya pranata-pranata sosial budaya masyarakat yang selama ini berfungsi sebagai perekat.

Upaya penyelesaian secara strategis berbagai konflik di Indonesia sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia dan akan berpengaruh terhadap; Pertama, kestabilan negara dan partisipasi masyarakat Indonesia di berbagai bidang, mendorong kokohnya demokrasi politik, mantapnya ekonomi dan tangguhnya keamanan kawasan, mengukukan kembali Indonesia yang menjadi negara yang selalu di perhitungkan dalam percaturan politik Internasional. Kedua, terbebasnya kawasan Indonesia dari keadaan konflik internal yang berkepanjangan, dapat lebih fokus untuk pencapaian agenda-agenda penting nasional, berbagai isu regional maupun global. Ketiga, teratasinya konflik di di kawasan Indonesia bedampak memantapkan kestabilan di berbagai bidang kegiatan di kawasan Asia Tenggara. Keempat, memberi ruang sosial yang kondusif guna tercapainya akselerasi partisipasi dan pemberdayaan politik, ekonomi, pemulihan ketentraman dan penguatan nilai sosial budaya masyarakat dari berbagai lapisan sosial serta penguatan wibawa pemerintah.



2. ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL
DI KALIMANTAN BARAT (*Maria Lamria*)

Mengingat begitu beragamnya latar belakang dan tingkat sosial masyarakat, maka persoalan hak dan kewajiban senantiasa muncul menjadi konflik social yang berkepanjangan dan terjadi di berbagai daerah. Konflik yang menggunakan simbol etnis, agama dan ras muncul yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta bagi pihak yang bertikai. Dengan demikian juga terjadi pelanggaran hak hidup damai dan sejahtera dalam bermasyarakat.
Keragaman suku bangsa merupakan kekuatan bangsa Indonesia. Kemampuan untuk mengelola keragaman suku bangsa yang besar diperlukan untuk mencegah terjadinya perpecahan yang akhirnya akan mengganggu kesatuan bangsa.
Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi penyebab terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat.
Seperti halnya konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan aparat hukum terhadap Suku Asli Dayak dan Suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam yang meledak dalam bentuk konflik -konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang termarjinalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif yang mengeksploitasi kekayaan alam mereka. Sementara penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kasus yang terjadi ini menunjukkan sulitnya penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah penyebab terjadinya konflik horizontal di Kalimantan Barat serta penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat setempat.



3. Jurnal Pengaruh Stres, Konflik dan Hukuman Disiplin Terhadap
Produktivitas Kerja Pegawai di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3
Samarinda Kalimantan Timur

Susanto
M. Wahyuddin

a. Latar belakang
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai salah satu instansi pemerintah yang berada di bawah naungan Departemen Keuangan RI berdasarkan PeraturanMenteri Keuangan Republik Indonesia No. 131/PMK.D1/2006, tentang organisasi dan tata kerja Departemen Keuangan Republik Indonesia dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 133/KMK.01/2006 tentang organisasi dan tata kerja instansi vertikal Direktorat Jendral Bea dan Cukai, dalam melaksanakan tugasnya telah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi di bidang kepabeanan dan cukai dengan melakukan reorganisasi. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi perlunya reorganisasi di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 466/KMK.01/2006) antara lain: Perkembangan praktek perdagangan internasional, perdagangan teknologi informasi, meningkatnya tuntutan masyarakat, Reformasi bidang kepabeanan, dan Amandemen UU No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan dan UU No. 11 tahun 1995 tentang Cukai dengan UU No. 17 tahun 2006 tentang perubahan UU No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan.
Selaku institusi pemerintah yang menyelenggarakan fungsi trade facilitation
maka Direktorat Jenderal Bea dan Cukai senantiasa dituntut untuk menyempurnakan sistem dan prosedur pelayanan dan pengawasan sesuai perkembangan yang terjadi dalam praktek perdagangan internasional, Perubahan kebijakan pemerintah, perdagangan teknologi informasi, dalam rangka mempercepat proses penyelesaian kewajiban pabean, meminimalkan investasi pejabat dalam pengambilan keputusan serta mengotimalkan kinerja di bidang pengawasan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pelayanan dan pengawasan di bidang kepabeanan dan cukai. Reorganisasi Departemen Keuangan yang dilakukan dalam rangka menciptakan organisasi yang dapat berfungsi sesuai dengan prinsip good govermance pimpinan Departemen Keuangan mereformasi dan mereposisi tugas dan fungsi unit-unit kerja di lingkungan departemen, khususnya pimpinan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
dengan mempercepat program reformasi. Ketidaksempurnaan struktur organisasi yang berjalan selama ini mengakibatkan beberapa masalah dalam pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi antara lain: Struktur organisasi tidak relevan, tugas dan fungsi tidak dapat dilaksanakan, dan tugas dan fungsi tumpang tindih. Terdapat tiga kondisi yang mengindikasikan terjadinya tumpang tindih tugas dan fungsi pada unit organisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 466/KMK.01/2006) yaitu: (1) Tugas dan fungsi operasional baik di bidang pelayanan maupun pengawasan secara umum; (2) Tugas dan fungsi yang sama diselenggarakan oleh 2 unit organisasi atau lebih; (3) Tugas dan fungsi yang mempunyai output yang identik dilakukan oleh 2 unit organisasi atau lebih. Di sini jelas bahwa tujuan dari reorganisasi pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah agar tercipta organisasi pemerintah yang sensitif dan akomodatif, terhadap perkembangan pelaksanaan tugas sebagai konsekuensi dan penyempurnaan yang dilakukan di bidang sistim dan prosedur pelayanan dan pengawasan baik di bidang impor, ekspor, dan cukai. Dengan reorganisasi diharapkan dapat tercipta keselarasan pendayagunaan teknik informatika dengan SDM, sehingga tercipta efisiensi dan efektivitas organisasi melalui pengelompokan kerja yang harmonis. Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Samarinda, Kalimatan Timur, memiliki peran strategis dalam melakukan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar, dengan jumlah pegawai yang hanya 66 orang dengan frekuensi pekerjaan yang cukup padat sebagai dampak dari reorganisasi, menuntut kesadaran dan motivasi yang
tinggi dari pegawai. Sebagai dampat dari reorganisasi tersebut tak jarang pegawai di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Samarinda, Kalimatan Timur mengalami stres, konflik internal maupun eksternal, sehingga mengharuskan Pimpinan memberlakukan hukuman disiplin terhadap Pegawai yang melakukan pelanggaran. Hartati, 2005. Pengujian hipotesis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara variabel pendidikan, kompensasi, promosi, dan konflik dalam organisasi terhadap motivasi kerja pegawai di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di Kabupaten Karanganyar, baik secara individual maupun bersama-sama. Wong, 2006. Hasil penelitian memperkirakan bahwa penawaran kerja, pengendalian kerja, dan dukungan supervisor signifikan dan berpengaruh langsung terhadap WLC. Papa, 1998. Pendidikan membutuhkan kolaborasi pelatihan training agar unggul dalam pelayanan profesional pada pusat sekolah kesehatan. Pelatihan pada sekolah kesehatan memberikan muatan kedisiplinan dalam lembaga akademik. Karatepe, 2006. Studi ini mengembangkan dan menguji sebuah model yang menginvestigasi pengaruh dari konflik kerja keluarga, kelelahan secara emosional, motivasi intrinsik dalam mempengaruhi hasil kerja dengan menggunakan data dari garis depan pekerja di hotel Northern Cyprus. Hasil mengunjukkan bahwa konflik kerja keluarga secara positif berhubungan dengan kelelahan emosional. Konflik kerja keluarga ditemukan tidak mempengarhui kepuasan kerja. Harold (2006), menyimpulkan, ketika orang berkolaborasi dalam bekerja, konflik selalu muncul. Memahami sumber konflik dan kemajuannya, resolusi dan hasil merupakan aspek utama dalam kepemimpinan. Penyebab konflik meliputi kesalahpahaman dalam berkomunikasi, emosi yang dikeluarkan, sifat individu dan nilai-nilai. Terdapat konsekuensi serius bila menghindar atau kesalahan mengelola ketidak setujuan. Pemimpin yang memiliki informasi dapat mencegah konflik secara efektif.

B. Tujuan penelitian

(1) Untuk menganalisis faktor stres, konflik, dan hukuman disiplin berpengaruh terhadap produktivitas kerja di kantor Pelayanan Jalan Tol dan Cukai Tipe A3 Samarinda Timur Kalimantan;
(2) Untuk meletakkan fakta yang paling dominan terbuka atau dalam mempengaruhi roduktivitas pegawai bekerja di Kantor Pelayanan Tol dan Cukai Tipe A3 Samarinda Kalimantan Timur. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan sampling aksidental. Metode yang digunakan saat ini penelitian adalah biner logistik regressio. Akurasi model regresi uji yang digunakan untuk menilai akurasi regresi model dalam penelitian ini diukur dengan nilai Chi-Square dengan Hosmer Test dan Lemeshow.
Hasil analisis regresi logistik biner diperoleh bahwa variabel bebas yang terdiri dari stres, konflik, dan hukuman disiplin berpengaruh positif dan signifikan pada pekerjaan
produktivitas. Hasil uji harapan B yang stres variabel sebesar 1.640, variabel konflik
sebesar 1.364, dan variabel disiplin hukuman sebesar 1.345. Hasil uji Koefisien Beta
adalah stres variabel sebesar 0.495, variabel konflik sebesar 0.311, dan hukuman disiplin
sebesar 0.296 variabel. Dari hasil uji ekspektasi B dan koefisien beta dapat diketahui bahwa terbesar stres variabel kontribusi dalam mempengaruhi produktivitas kerja dibandingkan dengan konflik variabel dan hukuman disiplin. Kata Kunci: stres, konflik, hukuman disiplin, dan produktivitas kerja.

C. HASIL PENELITIAN
1. Uji Validitas
a. variabel stres (X1)
Korelasi antara ke sepuluh butir pertanyaan dengan skor total kesemuanya lebih besar dari r 0,244 (r hitung > r tabel), sehingga semua butir pertanyaan tentang variabel stres dinyatakan valid. Butir pertanyaan yang mempunyai tingkat validitas tertinggi adalah pertanyaan nomor 6 dengan koefisien korelasi 0,593, sedangkan butir pertanyaan yang mempunyai tingkat validitas paling rendah adalah butir pertanyaan 4 nomor 8 yaitu 0,306.

b. variabel konflik (X2)
Korelasi antara ke 10 butir pertanyaan dengan skor total kesemuanya lebih besar dari r tabel 0,244 (r hitung > r tabel), sehingga semua butir pertanyaan tentang konflik dinyatakan valid. Butir pertanyaan yang mempunyai tingkat validitas tertinggi adalah pertanyaan nomor 8 dengan koefisien korelasi 0,729, sedangkan butir pertanyaan yang mempunyai tingkat validitas paling rendah adalah butir pertanyaan nomor 1 yaitu 0,319.

c. Hukuman Disiplin (X3)
Korelasi antara ke 10 butir pertanyaan dengan skor total kesemuanya lebih besar dari r 0,244 (r hitung > r tabel), sehingga semua butir pertanyaan tentang hukuman disiplin dinyatakan valid. Butir pertanyaan yang mempunyai tingkat validitas tertinggi adalah pertanyaan nomor 6 dengan koefisien korelasi 0,793, sedangkan butir pertanyaan yang mempunyai tingkat validitas paling rendah adalah butir pertanyaan nomor 2 yaitu 0,577.



4. Jurnal Reklamasi Singapura sebagai Potensi Konflik Delimitasi Perbatasan Wilayah Indonesia-Singapura

A. Latar belakang
Masalah kurangnya ruang geografis menggabungkan dengan meningkatnya jumlah penduduk karena dipimpin h pemerintah Singapura untuk melanjutkan kebijakan nasional di reklamasi. Namun kebijakan seperti ini memiliki dampak merugikan pada hubungan bilateral Indonesia-Singapura yang dapat menimbulkan potensi konflik di masa depan. Proses reklamasi dengan ngapore Si dapat menciptakan konflik delimitations potensial di perbatasan Indonesia-Singapura karena reklamasi akan menahan kedaulatan Indonesia. Pemerintah harus mengambil perhatian lebih serius dengan potensi konflik dengan meningkatkan kesadaran keamanan di sepanjang perbatasan Indonesia. Kata kunci: reklamasi, delimitations, konflik, Singapura, Indonesia, perbatasan.

B. Potensi Konflik Akibat Belum Tuntasnya Perjanjian Perbatasan Indonesia -
Singapura Tahun 1973
Indonesia dan Singapura telah menyepakati batas maritime internasional di Selat Singapura. Kedua negara menandatangani perjanjian batas Taut territor ial pada tanggal 25 Mei 1973, yang menetapkan enam titik batas yang lebih dikenal dengan sebutan v-line sebagai titik belok garis batas. Sejak kedua negara rneratifikasi, maka perjanjian tersebut secara resmi berlaku dan mengikat secara hokum.
Patut diperhatikan, perjanjian tersebut ternyata belum menyelesaikan delimitasi Batas maritim untuk keseluruhan kawasan maritim yang seharusnya didelimitasi. Perjanjian perbatasan tahun 1973 hanya menyepakati 6 titik seperti disebutkan di atas. Sementara itu, masih ada segmen di sebelah barat dan timur yang harus diselesaikan. Sedangkan, Singapura sendiri sangat aktif melakukan reklamasi dan konstruksi pelabuhan, yang berakibat pada perubahan bentuk pantainya. Reklamasi secara signifikan telah menggeser garis pantai Singapura ke arah selatan atau ke arah kedaulatan wilayah Indonesia. Berikut adalah gambar peta kawasan yang harus didelimitasi oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan perkembangan proyek reklamasi.

5. Jurnal Konflik Kepentingan Antara Amerika Dan Kelompok ISLAM
FUNDAMENTALIS (Chairil N siregar)


A. Latar Belakangn Masalah
Negara yang merasa memiliki ekonomi yang baik, sumber daya manusia yang potensial, dan keuangan yang kuat menpunyai banyak kepen-tingan, terutama kepentingan untuk menguasai perekonomian dunia. Ber-bagai cara dilakukan untuk memenuhi kepentingan tersebut, bahkan tidak jarang dilakukan dengan cara yang tidak etis kadang-kadang menjurus pada tindakan HAM dan kriminal. Hal ini dapat dilihat dari tindakan atau strategi yang dilakukan negara adikuasa seperti Amerika Serikat.
Untuk memenuhi kepentingan ekonominya salah satu caranya dengan menguasai sumberdaya alam negara lain, apakah itu minyak, gas, intan, emas, tembaga, bahkan uranium. Untuk dapat menguasai sumber daya alam tersebut berbagai cara dilakukan, tidak jarang intelijen turut berperan dalam mengatur strategi. Bila diamati secara cermat, negara yang kaya akan sumberdaya alamnya, mayoritas penduduknya ber-agama Islam. Dalam agama Islam, manusia diwajibkan untuk berusaha atau melakukan aktivitas dalam memper-tahankan hidupnya selagi tidak ber-tentangan dengan syariat Islam, atau tidak merusak lingkungan sosial alam. Di sisi lain Amerika memiliki budaya dan kepercayaan yang berbeda dengan negara-negara yang ber-penduduk mayoritas beragama Islam, bahkan tidak jarang bertolak belakang.


B. permasalahan yang terjadi
1. Tindakan Amerika yang semena-mena terhadap negara-negara berpenduduk mayoritas.
Islam perlu dipikirkan oleh seluruh umat Islam, terutama OKI
2.Siapa sebenarnya Teroris? Negara-negara berkembang khususnya Negara yang
berpenduduk mayoritas muslim sering menjadi bulan-bulanan, bahkan lebih dari itu
sampai dikatakan sebagai sarang teroris, istilah terroris sampai sekarang belum ada kata
sepakat tentang definisinya.


KESIMPULAN

Konflik adalah suatu kenyataan yang tidak terhindarkan jika pihak-pihak yang bertentangan tidak memiliki pemahaman yang terhadap satu sama lain dan tujuan serta kebutuhan mereka tidak dapat lagi sejalan. Perbedaan pendapat yang terjadi di antara keduanya pada dasarnya adalah hal yang alami, namun jika tidak terkendali akan menjadi pemicu timbulnya kekerasan yang merusak kedua belah pihak bahkan lingkungan sekitarnya. Untuk itu diperlukan penyelesaian yang memberikan semangat damai pada kedua belah pihak. Jika konflik yang menyebabkan timbulnya kekerasan dapat diselesaikan tanpa melakukan kekerasan memberikan suatu rasa damai dan aman pada masyarakat sekitarnya. Sebaliknya, jika diselesaikan juga dengan kekerasan yang membabibuta akan menyebabkan timbulnya rasa takut, tidak aman, kepanikan bagi orang sekitarnya, khususnya bagian dari masyarakat yang bertikai. Permasalahan baru juga akan timbul dari penyelesaian dengan jalan kekerasan.
Selanjutnya Simon Fisher dkk, mengajukan suatu konsep tentang arti kekerasan sebagai suatu pendekatan dalam intervensi konflik yang menyebutkan bahwa konflik adalah fakta kehidupan yang dapat memunculkan permasalahanpermasalahan berat saat kekerasan muncul dalam konflik tersebut. Oleh karenanya dapat dibedakan antara kelompok yang menghendaki kekerasan sebagai penyelesaian konflik dan kelompok yang anti kekerasan. Kelompok yang pro kekerasan cenderung untuk memaksakan kehendaknya agar dituruti orang lain ketika cara lain yang ditempuh gagal. Sedangkan kelompok anti kekerasan cenderung percaya bahwa kekerasan tidak akan mampu mendatangkan manfaat yang diharapkan diharapkan, sehingga penggunaan kekerasan dirasa tidak bermanfaat dan tidak adil. Secara praktis tindakantindakan anti kekerasan dilakukan masyarakat yang menerapkan metode anti kekerasan secara mutlak mereka lebih percaya bahwa metode anti kekerasan yang diterapkan dalam suatu konflik akan lebih berhasil dalam situasi yang mereka hadapi sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arif. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hasan, Abdullah. 1998. Berkonflik dan Berunding. Malaysia : Utusan Publications & Distributors Sdn BHD.
Alqadarie Syarief I. (2000). Laporan Akhir Hasil Penelitian Pertikaian antar
Komunitas Madura Kalimantan Barat dengan Dayak 1996/97 dan antara
Komunitas Madura Sambas dengan Melayu Sambas Tahun 1998/1999 di
Kalimantan Barat. Kerjasama Yayasan Ilmu-ilmu Sosial Jakarta-dengan
Fisipol Untan-Pontianak.
Fisher Simon, Ibrahim Dekka, dkk. (2002) “Working with conflict’ : Skill &
Strategies for Action. New York.Responding To Conflict.
Jurnal Hukum dan Pemikiran Nomor I, Tahun 2 Januari- Juni 2002.
Laporan Khusus Gubernur Kalimantan Barat 1997.
Soekanto Soeryono; 1990. Suatu Pengantar. Raja Wali Press, Jakarta.
Sunaryo Thomas. “Manajemen Konflik dan Kekerasan”. Makalah pada
Sarasehan tentang Antisipasi Kerawanan Sosial di DKI Tanggal 15-17
September 2002.
Abidin, Hasanuddin Z, dkk. 2005. Geodetic Datum of Indonesian Maritime Boundaries: Status and Problems.
Dhyatmika, Wahyu dkk. "Kelilipan Politik Pasir", Tempo, Edisi 26 Februari-4 Maret 2007.
Alwi, Syafaruddin, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, BPFE, Yogyakarta;

Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, PT, Rineka Cipta,
Jakarta;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar