.ALL ABOUT AIDS.
SESUATU YANG KAMU WASPADAI SEBAGAI GENERASI MUDA PENERUS BANGSA.
1. BEDA AIDS DAN HIV
AIDS ATAU ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME adalah kumpulan gejala klinis hasil dari infeksi yang disebabkan menurunnya imunitas seluler atau kekebalan tubuh manusia. AIDS sendiri adalah stadium lanjut atau akhir dari infeksi HIV. Jadi AIDS itu nggak sama dengan HIV. Jadi AIDS itu nggak sama dengan HIV lho!
HIV adalah human immunodefiency virus,yaitu virus jenis retro-kemudian disebut dengan retrovirus yang menyerang kekebalan tubuh seseorang dan bias menyebabkan orang tersebut mudah terinfeksi.
2. THE BEGINNING.
AIDS pertama kali dilaporkan tahun 19981 di USA, tepatnya dilos angeles dan new york. Pada waktu itu, AIDS terdapat dikalagan homoseksual lalu menyebar keseluruh dunia. Di Indonesia sendri, AIDS masuk sekitar tahun 1987. sampai sekarang, diseluruh dunia diperkirakan ada 42 juta orang terinfeksi HIV / AIDS dan sekiotar 8.000 orang meninggal setisp harinya akibat infeksi ini.
3. PENULARAN VIRUS
HIV biasa ditemukan dalam darah, sperma, cairan vagina, air mata, saliva dan juga ASI. Tapi HIV cuma biasa hidup di 4 macam cairan tubuh manusia.yaitu darah, cairan sperma, cairan vagina dan ASI.
Seseorang bias terinfeksi HIV kalau melakukan suatu hal yang menyebabkan berpindahnya virus lewat cairan. Misalnya saja:
- Darah.
a. lewat transfuse darah atau produk darah yang sudah tercemar HIV.
b. Lewat pemakaian jarum suntik nggak steril yang tercemar HIV.
c. Penggunaan jarum suntik yang berulang kali dalam kegiatan lain. Contohnya pengguntingan kuku, facial, tattoo.
- Sperma atau cairan vagina.
Melalui hubungan seks di mana penis masuk kedalam vegina atau anus tanpa kondom sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma dan vagina.
- ASI.
Dimungkinkan bila seseorang ibu hamil yang HIV positif menyusui bayinya. Setiap 10 kehamilan dari ibu yang HIV positif, kemungkinan 3 bayinya juga HIV positif.
HIV nggak ditularkan lewat:
1. bermasalaman,berpelukan, berciuman.
2. gigitan nyamuk.
3. telepon umum.
4. alat-alat makan atau minum.
5. wc atau kloset umum.
6. alat tulis.
7. tinggal serumah dengan penderita HIV.
8. kolam renang.
4. GEJALA-GEJALA
1. gejala mayor.
a. penurunan berat badan lebih dari 10% berat semula dalam waktu sebulan.
b. Diare kronik lebih dari 1 bulan.
c. Demam lebih dari 1 bulam.
2. gejala minor.
a. batuk lebih dari 1 bulan
b. dermatitis atau radang kulit yang kronis
c. timbul infeksi jamur dimulut.
d. Ruam kulit
e. Mati rasa atau terasa sakit pada tangan dan kaki.\
f. Gangguan penglihtan dan juga daya ingat.
g. Berkeringat sangat banyak pada malam hari.
h. Pembengkakan kelenjar atau lipatan paha
i. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Senin, 22 Februari 2010
agresivitas
AGRESIVITAS.
Pengertian dan Jenis-jenis Agresivitas.
Agresivitas dapat diartikan sebagai perilaku atau kecenderungan perilaku yang diminati untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis (Buss & Perry, 1992; Baron & Byrne, 2004). Mereka yang frustrasi (merasa gagal mencapai tujuannya) adalah orang yang paling mudah melakukan tindakan agresi. Ahli psikologi sosial, yaitu Dollard dan Miller, menerangkan hal di atas dengan frustration-aggression hypothesis (Brigham, 1991; Baron & Byrne, 2004; Nashori, 2008).
Orang-orang yang frustrasi marah terhadap orang-orang yang dianggap sebagai penyebab atau perantara terjadinya rasa sakit. Disakiti atau dilukai perasaannya atau kepentingannya, itulah yang dijadikan alasan oleh sementara orang untuk bertindak agresif. Mereka frustrasi dengan apa yang terjadi, dan jadilah mereka menjarah, membunuh, menembak, melempar batu, memukul, membacok, dan seterusnya.
Pengelompokan jenis agresi menurut berbagai ahli tentu saja cukup beragam, salah satunya adalah pendapat Buss. Indikator atau ciri-ciri agresivitas menurut Buss (Nashori, 2008) meliputi: perilaku agresif secara fisik dan verbal, secara aktif dan pasif, dan secara langsung dan tidak langsung. Tiga klasifikasi tersebut masing – masing akan saling berinteraksi, sehingga akan menghasilkan tujuh bentuk perilaku agresif, yaitu :
1. Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya menusuk, menembak, memukul orang lain.
2. Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya membuat jebakan untuk mencelakakan orang lain.
3. Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak memberikan jalan kepada oarang lain.
4. Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk melakukan sesuatu, menolak mengerjakan perintah oarang lain.
5. Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya memaki – maki orang.
6. Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menyebar gosip tentang orang lain.
7. Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk berbicara dengan orang lain, menolak untuk menjawab pertanyaan orang lain atau menolak untuk memberikan perhatian pada suatu pembicaraan.
Akar Agresivitas: Budaya Kekerasan
Agresi dalam pendidikan terjadi karena pelaku belajar dari lingkungan, termasuk di dalamnya dari media massa. Kekerasan yang berlangsung pada diri Cliff Muntu berkaitan dengan budaya kekerasan yang dihidupkan dan dipelihara di IPDN. Para senior adalah agen yang mentransfer budaya kekerasan itu kepada para juniornya. Kejadian ini berlangsung dari generasi ke generasi sehingga menjadi budaya kekerasan bagi mahasiswa IPDN.
Berkenaan dengan pentingnya faktor lingkungan atau kebudayaan dalam meningkatkan kekerasan dalam dunia pendidikan, ada sejumlah pernyataan dan penelitian serta teori yang diajukan oleh ahli psikologi yang menyatakan bahwa kekerasan manusia (semata-mata) adalah hasil belajar dari lingkungan sosialnya (Wrightsman & Deaux, 1981). Menurut Wrightsman & Deaux, prinsip dasar teori belajar adalah apabila suatu tingkah laku termasuk tingkah laku agresif diberi reinforcement (penguatan) atau reward (hadiah), maka tingkah laku tersebut akan cenderung diulang pada saat yang lain. Teori belajar observasional atau modeling yang dikembangkan oleh Albert Bandura berasumsi bahwa tingkah laku agresif diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan (observasi) terhadap tingkah laku yang ditampilkan oleh individu lain yang menjadi model (Koeswara,1988). Bandura sendiri pernah melakukan eksperimen yang menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan model akan ditiru anak-anak (Monks dkk, 2004).
Pandangan ahli-ahli psikologi sosial di atas memperoleh dukungan empiris dari ahli antropologi. Ruth Benedict (Goble, 1994) dan Brown (Setiadi, 2001) berpandangan bahwa lingkungan sosiallah yang membentuk perilaku agresif atau kekerasan. Ruth Benedict (Goble, 1994) menunjukkan bahwa manusia yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang saling membantu akan menumbuhkan individu individu yang menyenangkan dan penuh kasih sayang. Sebaliknya, masyarakat yang tidak ramah dan jahat akan menghasilkan individu-individu yang berkarakter keras dan agresif. Hal ini dapat kita lihat dari penelitian Ruth Benedict pada masyarakat masyarakat Indian. Benedict meneliti empat kebudayaan yang tidak ramah dan jahat (Chuckchee, Ojibwa, Dobwo, Kwakiutl) dan empat kebudayaan lainnya yang menghasilkan orang orang yang menyenangkan (Zuni, Arapesh, Dakota, dan Eskimo). Ruth Benedict berpendapat bahwa masyarakat yang tidak dikuasai oleh agresi atau kekerasan memiliki tata tertib sosial yang mengatur bahwa setiap individu, lewat perbuatannya yang sama, melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri sekaligus menguntungkan kelompok. Salah satu kuncinya adalah bahwa non-agresi (atau saling membantu dan kasih sayang) terjadi karena tatanan sosial telah membuat keduanya itu keuntungan diri dan keuntungan kelompok identik (Goble, 1994). Lingkungan, bagaimanapun sangat menonjol peranannya dalam hal membentuk watak, manusia: apakah menjadi agresif atau penuh kasih sayang.
Senada dengan hasil penelitian di atas, Brown (Setiadi, 2001) mengungkapkan bahwa ada hubungan antara budaya dan kekerasan. Brown menemukan bahwa orang Simbu di New Guinea (baca: Papua Nugini) menunjukkan perilaku agresif yang tinggi dibandingkan dengan apa yang ditemukan Robarchek pada budaya Semai. Budaya Simbu memiliki sikap sangat favorable terhadap perilaku agresif. Dalam budaya ini, orang yang dikagumi adalah orang yang agresif. Status sosial yang tinggi diasosiasikan dengan pria, kekerasan dan sikap kompetitif. Sebaliknya, budaya Semai memiliki sikap sangat negatif terhadap perilaku agresif. Orang-orang Semai justru berpendapat bahwa hanya orang-orang jahat yang bisa bertindak dengan kekerasan.
Penelitian empiris yang ditemukan penulis (Nashori & Diana, 2007) di SMA dan SMK Yogyakarta ini searah dengan hasil penelitian Benedict (Goble, 1994) dan Brown (Setiadi, 2001). Lingkungan sehari-hari siswa SMA dan siswa SMK adalah lingkungan sekolah yang sesungguhnya tidak menoleransi adanya kekerasan. Kalaupun ada kekerasan, maka kekerasan atau agresi itu terbentuk di luar lingkungan sekolah, yaitu lingkungan tempat tinggal (rumah, kos-kosan atau kontrakan). Pengaruh lingkungan dalam sekolah lebih besar dibandingkan dengan lingkungan luar sekolah.
Dalam konteks ke-Indonesiaan saat ini, apa yang dilihat oleh warga negara Indonesia melalui media massa atau melalui kehidupan nyata tentang kekerasan yang dilakukan orang kecil seperti Ryan hingga para pemimpin politik dan mantan presiden, akan menjadi ’pelajaran’ bagi mereka, yang menginspirasi mereka untuk bertindak kekerasan. Tentu saja lingkungan kecil seperti sekolah juga menjadi lingkungan yang membuat seseorang berbuat kekerasan atau tidak. Kasus kekerasan di IPDN, perploncoan, menunjukkan adanya faktor lingkungan yang membudayakan kekerasan.
Akar Agresivitas Lain: Biologis, Frustrasi, Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresivitas di antaranya adalah biologis (Buss & Perry, 1992), kognitif (Dodge & Coi, 1987; Dodge & Crick, 1990; Dodge & Newman, 1981), etnis (Ekawati & Nashori, 2001), dzikir (Buchori, 2005), perlakuan orang signifikan (Hidayat, 2004), amarah, frustrasi (Dollard and Miller, 998), cara bersikap terhadap sumber agresi (Nashori, 2004).
1. Biologis.
Diungkapkan oleh Buss dan Perry (1992), Sigmund Freud meyakini bahwa manusia lahir dengan dua sifat dasar, sesuatu yang bersifat biologis atau ada sejak manusia dilahirkan, yaitu eros (dorongan hidup) dan thanatos (dorongan mati). Agresi dan kekerasan adalah salah satu wujud kehendak untuk mati. Apabila agresi dan kekerasan muncul di mana mana dengan frekuensi, kuantitas, dan kualitas yang beragam dan cenderung meningkat, maka pada saat itulah manusia mewujudkan sifat dasarnya. Pernyataan bahwa manusia pada dasarnya agresif memperoleh dukungan dari sejumlah ahli agama. Mereka berpandangan bahwa semua manusia adalah anak-cucu Qabil, padahal Qabil –putra Nabi Adam—adalah seseorang yang tega membunuh saudaranya sendiri (baca boks 1: Kekerasan pertama manusia). Diskusi tentang kebenaran kelamiahan kekerasan dalam diri manusia bisa panjang, karena pendapat yang sebaliknya juga banyak. Nashori (2003) menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia lahir dengan sifat asal positif saja. Ini sesuai dengan jumhur ulama Islam tentang apakah manusia memiliki hanya sifat dasar positif atau positif dan negatif saat dilahirkan. Dengan pandangan demikian, pandangan bahwa manusia secara alamiah agresif belum dapat diterima.
2. Kognisi.
Dekat dengan peniruan adalah aspek kognisi. Agresivitas melibatkan proses perhatian yaitu proses ketertarikan individu untuk mengamati tingkah laku model. Proses ini dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran model dan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya. Model yang sering tampil, tampak menonjol dan menimbulkan perasaan positif pada pengamatnya akan lebih midah mengundang perhatian daripada model yang jarang tampil dan tidak menonjol.
3. Frustrasi.
Frustrasi, adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Bila seseorang hendak pergi ke suatu tempat, melakukan sesuatu, atau menginginkan sesuatu, dan kemudian merasa dihalangi, dikatakan bahwa orang tersebut mengalami frustrasi. Salah satu prinsip dalam psikologi adalah frustrasi cenderung membangkitkan perasaan agresif. Pengaruh frustrasi terhadap perilaku diperlihatkan dalam penelitian klasik yang dilakukan Barker, Dembo dan, Lewin. Kepada sekelompok anak, ditunjukkan ruangan yang penuh berisi mainan yang menarik, tetapi mereka tidak diijinkan untuk memasukinya. Mereka berdiri di luar, memperhatikan mainan mainam itu: ingin memainkannya tetapi tidak dapat meraihnya: Sesudah menunggu beberapa saat, mereka diperbolehkan untuk bermain dengan mainan tersebut: Kelompok anak yang lain diberi mainan tanpa dihalangi terlebih dahulu. Anak-anak yang sudah mengalami frustrasi membanting mainan ke lantai, melemparkannya ke dinding dan pada umumnya menampilkan perilaku merusak, anak anak yang tidak mengalami frustrasi jauh lebih tenang dan tidak menimbulkan perilaku merusak.
Kekerasan material yang dilakukan oleh guru dan dosen kemungkinan disebabkan oleh rasa frustrasi. Sudah kita ketahui bahwa sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk guru, memperoleh penhasilan yang sangat terbatas. Keterbatan materi yang mencekik menjadikan dosen dan guru menggunakan kekerasan material.
Mengatasi Agresivitas dalam Pendidikan
1. Membentuk lingkungan yang shaleh dan menghargai martabat manusia: Di sekolahan/kampus dihidupkan aktivitas keberagamaan, seperti pengajian rutin (untuk guru/murid), shalat berjamaah, pembacaan dzikir dan al-Qur’an secara bersama-sama, dsb. Di sini juga ada aturan yang jelas yang melarang perbuatan jahat yang menyakiti/mengganggu orang lain, memberi penghargaan yang tepat untuk setiap prestasi yang diraih. Pesantren adalah contoh komunitas yang menggunakan pendekatan ini.
2. Memberi hukuman yang setimpal: Orang yang melakukan kesalahan (menyakiti orang lain) dibalas dengan hukuman yang setimpal oleh pihak berwenang. Tujuannya adalah membuat pelaku jera. Ini cocok kekeraan fisik. Tepat untuk orang yang rasional (selalu mempertimbangkan untung rugi atas perilakunya). Misalnya: skors atau drop out.
3. Menjamin adanya akses untuk memperoleh kemudahan hidup dan kesamaan hak untuk mendapatkan keperluan hidup sehingga dapat mengurangi sumber frustrasi: memperoleh penghasilan dan tunjangan yang memadai.
4. Mengembangkan sikap positif: Mengembangkan sikap positif terhadap keadaan apapun yang terjadi (sehingga membuat seseorang tidak terpancing untuk bertindak penuh kekerasan) seperti berprasangka baik (khusnudhdhon), lapangdada, dsb
5. Menggunakan paradigma dan teknik belajar yang dapat dinikmati subjek didik dan tidak menimbulkan amarah, frustrasi, dll. Contoh: Problem based learning, student centered leraning, quantum learning.
Pengertian dan Jenis-jenis Agresivitas.
Agresivitas dapat diartikan sebagai perilaku atau kecenderungan perilaku yang diminati untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis (Buss & Perry, 1992; Baron & Byrne, 2004). Mereka yang frustrasi (merasa gagal mencapai tujuannya) adalah orang yang paling mudah melakukan tindakan agresi. Ahli psikologi sosial, yaitu Dollard dan Miller, menerangkan hal di atas dengan frustration-aggression hypothesis (Brigham, 1991; Baron & Byrne, 2004; Nashori, 2008).
Orang-orang yang frustrasi marah terhadap orang-orang yang dianggap sebagai penyebab atau perantara terjadinya rasa sakit. Disakiti atau dilukai perasaannya atau kepentingannya, itulah yang dijadikan alasan oleh sementara orang untuk bertindak agresif. Mereka frustrasi dengan apa yang terjadi, dan jadilah mereka menjarah, membunuh, menembak, melempar batu, memukul, membacok, dan seterusnya.
Pengelompokan jenis agresi menurut berbagai ahli tentu saja cukup beragam, salah satunya adalah pendapat Buss. Indikator atau ciri-ciri agresivitas menurut Buss (Nashori, 2008) meliputi: perilaku agresif secara fisik dan verbal, secara aktif dan pasif, dan secara langsung dan tidak langsung. Tiga klasifikasi tersebut masing – masing akan saling berinteraksi, sehingga akan menghasilkan tujuh bentuk perilaku agresif, yaitu :
1. Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya menusuk, menembak, memukul orang lain.
2. Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya membuat jebakan untuk mencelakakan orang lain.
3. Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak memberikan jalan kepada oarang lain.
4. Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk melakukan sesuatu, menolak mengerjakan perintah oarang lain.
5. Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya memaki – maki orang.
6. Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menyebar gosip tentang orang lain.
7. Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk berbicara dengan orang lain, menolak untuk menjawab pertanyaan orang lain atau menolak untuk memberikan perhatian pada suatu pembicaraan.
Akar Agresivitas: Budaya Kekerasan
Agresi dalam pendidikan terjadi karena pelaku belajar dari lingkungan, termasuk di dalamnya dari media massa. Kekerasan yang berlangsung pada diri Cliff Muntu berkaitan dengan budaya kekerasan yang dihidupkan dan dipelihara di IPDN. Para senior adalah agen yang mentransfer budaya kekerasan itu kepada para juniornya. Kejadian ini berlangsung dari generasi ke generasi sehingga menjadi budaya kekerasan bagi mahasiswa IPDN.
Berkenaan dengan pentingnya faktor lingkungan atau kebudayaan dalam meningkatkan kekerasan dalam dunia pendidikan, ada sejumlah pernyataan dan penelitian serta teori yang diajukan oleh ahli psikologi yang menyatakan bahwa kekerasan manusia (semata-mata) adalah hasil belajar dari lingkungan sosialnya (Wrightsman & Deaux, 1981). Menurut Wrightsman & Deaux, prinsip dasar teori belajar adalah apabila suatu tingkah laku termasuk tingkah laku agresif diberi reinforcement (penguatan) atau reward (hadiah), maka tingkah laku tersebut akan cenderung diulang pada saat yang lain. Teori belajar observasional atau modeling yang dikembangkan oleh Albert Bandura berasumsi bahwa tingkah laku agresif diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan (observasi) terhadap tingkah laku yang ditampilkan oleh individu lain yang menjadi model (Koeswara,1988). Bandura sendiri pernah melakukan eksperimen yang menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan model akan ditiru anak-anak (Monks dkk, 2004).
Pandangan ahli-ahli psikologi sosial di atas memperoleh dukungan empiris dari ahli antropologi. Ruth Benedict (Goble, 1994) dan Brown (Setiadi, 2001) berpandangan bahwa lingkungan sosiallah yang membentuk perilaku agresif atau kekerasan. Ruth Benedict (Goble, 1994) menunjukkan bahwa manusia yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang saling membantu akan menumbuhkan individu individu yang menyenangkan dan penuh kasih sayang. Sebaliknya, masyarakat yang tidak ramah dan jahat akan menghasilkan individu-individu yang berkarakter keras dan agresif. Hal ini dapat kita lihat dari penelitian Ruth Benedict pada masyarakat masyarakat Indian. Benedict meneliti empat kebudayaan yang tidak ramah dan jahat (Chuckchee, Ojibwa, Dobwo, Kwakiutl) dan empat kebudayaan lainnya yang menghasilkan orang orang yang menyenangkan (Zuni, Arapesh, Dakota, dan Eskimo). Ruth Benedict berpendapat bahwa masyarakat yang tidak dikuasai oleh agresi atau kekerasan memiliki tata tertib sosial yang mengatur bahwa setiap individu, lewat perbuatannya yang sama, melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri sekaligus menguntungkan kelompok. Salah satu kuncinya adalah bahwa non-agresi (atau saling membantu dan kasih sayang) terjadi karena tatanan sosial telah membuat keduanya itu keuntungan diri dan keuntungan kelompok identik (Goble, 1994). Lingkungan, bagaimanapun sangat menonjol peranannya dalam hal membentuk watak, manusia: apakah menjadi agresif atau penuh kasih sayang.
Senada dengan hasil penelitian di atas, Brown (Setiadi, 2001) mengungkapkan bahwa ada hubungan antara budaya dan kekerasan. Brown menemukan bahwa orang Simbu di New Guinea (baca: Papua Nugini) menunjukkan perilaku agresif yang tinggi dibandingkan dengan apa yang ditemukan Robarchek pada budaya Semai. Budaya Simbu memiliki sikap sangat favorable terhadap perilaku agresif. Dalam budaya ini, orang yang dikagumi adalah orang yang agresif. Status sosial yang tinggi diasosiasikan dengan pria, kekerasan dan sikap kompetitif. Sebaliknya, budaya Semai memiliki sikap sangat negatif terhadap perilaku agresif. Orang-orang Semai justru berpendapat bahwa hanya orang-orang jahat yang bisa bertindak dengan kekerasan.
Penelitian empiris yang ditemukan penulis (Nashori & Diana, 2007) di SMA dan SMK Yogyakarta ini searah dengan hasil penelitian Benedict (Goble, 1994) dan Brown (Setiadi, 2001). Lingkungan sehari-hari siswa SMA dan siswa SMK adalah lingkungan sekolah yang sesungguhnya tidak menoleransi adanya kekerasan. Kalaupun ada kekerasan, maka kekerasan atau agresi itu terbentuk di luar lingkungan sekolah, yaitu lingkungan tempat tinggal (rumah, kos-kosan atau kontrakan). Pengaruh lingkungan dalam sekolah lebih besar dibandingkan dengan lingkungan luar sekolah.
Dalam konteks ke-Indonesiaan saat ini, apa yang dilihat oleh warga negara Indonesia melalui media massa atau melalui kehidupan nyata tentang kekerasan yang dilakukan orang kecil seperti Ryan hingga para pemimpin politik dan mantan presiden, akan menjadi ’pelajaran’ bagi mereka, yang menginspirasi mereka untuk bertindak kekerasan. Tentu saja lingkungan kecil seperti sekolah juga menjadi lingkungan yang membuat seseorang berbuat kekerasan atau tidak. Kasus kekerasan di IPDN, perploncoan, menunjukkan adanya faktor lingkungan yang membudayakan kekerasan.
Akar Agresivitas Lain: Biologis, Frustrasi, Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresivitas di antaranya adalah biologis (Buss & Perry, 1992), kognitif (Dodge & Coi, 1987; Dodge & Crick, 1990; Dodge & Newman, 1981), etnis (Ekawati & Nashori, 2001), dzikir (Buchori, 2005), perlakuan orang signifikan (Hidayat, 2004), amarah, frustrasi (Dollard and Miller, 998), cara bersikap terhadap sumber agresi (Nashori, 2004).
1. Biologis.
Diungkapkan oleh Buss dan Perry (1992), Sigmund Freud meyakini bahwa manusia lahir dengan dua sifat dasar, sesuatu yang bersifat biologis atau ada sejak manusia dilahirkan, yaitu eros (dorongan hidup) dan thanatos (dorongan mati). Agresi dan kekerasan adalah salah satu wujud kehendak untuk mati. Apabila agresi dan kekerasan muncul di mana mana dengan frekuensi, kuantitas, dan kualitas yang beragam dan cenderung meningkat, maka pada saat itulah manusia mewujudkan sifat dasarnya. Pernyataan bahwa manusia pada dasarnya agresif memperoleh dukungan dari sejumlah ahli agama. Mereka berpandangan bahwa semua manusia adalah anak-cucu Qabil, padahal Qabil –putra Nabi Adam—adalah seseorang yang tega membunuh saudaranya sendiri (baca boks 1: Kekerasan pertama manusia). Diskusi tentang kebenaran kelamiahan kekerasan dalam diri manusia bisa panjang, karena pendapat yang sebaliknya juga banyak. Nashori (2003) menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia lahir dengan sifat asal positif saja. Ini sesuai dengan jumhur ulama Islam tentang apakah manusia memiliki hanya sifat dasar positif atau positif dan negatif saat dilahirkan. Dengan pandangan demikian, pandangan bahwa manusia secara alamiah agresif belum dapat diterima.
2. Kognisi.
Dekat dengan peniruan adalah aspek kognisi. Agresivitas melibatkan proses perhatian yaitu proses ketertarikan individu untuk mengamati tingkah laku model. Proses ini dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran model dan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya. Model yang sering tampil, tampak menonjol dan menimbulkan perasaan positif pada pengamatnya akan lebih midah mengundang perhatian daripada model yang jarang tampil dan tidak menonjol.
3. Frustrasi.
Frustrasi, adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Bila seseorang hendak pergi ke suatu tempat, melakukan sesuatu, atau menginginkan sesuatu, dan kemudian merasa dihalangi, dikatakan bahwa orang tersebut mengalami frustrasi. Salah satu prinsip dalam psikologi adalah frustrasi cenderung membangkitkan perasaan agresif. Pengaruh frustrasi terhadap perilaku diperlihatkan dalam penelitian klasik yang dilakukan Barker, Dembo dan, Lewin. Kepada sekelompok anak, ditunjukkan ruangan yang penuh berisi mainan yang menarik, tetapi mereka tidak diijinkan untuk memasukinya. Mereka berdiri di luar, memperhatikan mainan mainam itu: ingin memainkannya tetapi tidak dapat meraihnya: Sesudah menunggu beberapa saat, mereka diperbolehkan untuk bermain dengan mainan tersebut: Kelompok anak yang lain diberi mainan tanpa dihalangi terlebih dahulu. Anak-anak yang sudah mengalami frustrasi membanting mainan ke lantai, melemparkannya ke dinding dan pada umumnya menampilkan perilaku merusak, anak anak yang tidak mengalami frustrasi jauh lebih tenang dan tidak menimbulkan perilaku merusak.
Kekerasan material yang dilakukan oleh guru dan dosen kemungkinan disebabkan oleh rasa frustrasi. Sudah kita ketahui bahwa sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk guru, memperoleh penhasilan yang sangat terbatas. Keterbatan materi yang mencekik menjadikan dosen dan guru menggunakan kekerasan material.
Mengatasi Agresivitas dalam Pendidikan
1. Membentuk lingkungan yang shaleh dan menghargai martabat manusia: Di sekolahan/kampus dihidupkan aktivitas keberagamaan, seperti pengajian rutin (untuk guru/murid), shalat berjamaah, pembacaan dzikir dan al-Qur’an secara bersama-sama, dsb. Di sini juga ada aturan yang jelas yang melarang perbuatan jahat yang menyakiti/mengganggu orang lain, memberi penghargaan yang tepat untuk setiap prestasi yang diraih. Pesantren adalah contoh komunitas yang menggunakan pendekatan ini.
2. Memberi hukuman yang setimpal: Orang yang melakukan kesalahan (menyakiti orang lain) dibalas dengan hukuman yang setimpal oleh pihak berwenang. Tujuannya adalah membuat pelaku jera. Ini cocok kekeraan fisik. Tepat untuk orang yang rasional (selalu mempertimbangkan untung rugi atas perilakunya). Misalnya: skors atau drop out.
3. Menjamin adanya akses untuk memperoleh kemudahan hidup dan kesamaan hak untuk mendapatkan keperluan hidup sehingga dapat mengurangi sumber frustrasi: memperoleh penghasilan dan tunjangan yang memadai.
4. Mengembangkan sikap positif: Mengembangkan sikap positif terhadap keadaan apapun yang terjadi (sehingga membuat seseorang tidak terpancing untuk bertindak penuh kekerasan) seperti berprasangka baik (khusnudhdhon), lapangdada, dsb
5. Menggunakan paradigma dan teknik belajar yang dapat dinikmati subjek didik dan tidak menimbulkan amarah, frustrasi, dll. Contoh: Problem based learning, student centered leraning, quantum learning.
Sabtu, 20 Februari 2010
apa itu enuresis
Apa Enuresis?
.Enuresis (katakanlah "en-yur-ee-sis") adalah istilah medis untuk tidur-membasahi selama tidur.Bed-membasahi cukup umum dan sering hanya tahap pengembangan.Bed-membasahi lebih umum di antara anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Beberapa penyebab enyuresis.
Faktor genetik (itu cenderung berjalan dalam keluarga)
• Kesulitan bangun dari tidur
• Stres
• Lebih lambat dibandingkan perkembangan normal sistem saraf pusat (yang mengurangi kemampuan anak untuk menghentikan pengosongan kandung kemih dari pada malam hari)
• Faktor-faktor hormonal (hormon antidiuretik tidak cukup dihasilkan, yang merupakan hormon yang memperlambat produksi urin pada malam hari)
• Infeksi saluran kemih
• Kelainan pada katup uretra pada laki-laki atau di ureter pada anak perempuan atau anak laki-laki
• Kelainan di sumsum tulang belakang
• Kandung kemih kecil.
Kebanyakan anak mengatasi tidur-membasahi tanpa pengobatan. Namun, Anda dan dokter Anda dapat memutuskan anak Anda memerlukan perawatan. Ada 2 jenis pengobatan: perilaku terapi dan obat-obatan. Terapi perilaku membantu mengajari anak Anda untuk tidak mengompol. Beberapa perilaku perawatan meliputi:
• Batasi cairan sebelum tidur.
• Mintalah anak Anda pergi ke kamar mandi di awal waktu tidur rutin dan kemudian kembali tepat sebelum tidur.
• Sistem alarm yang berdering bila ranjang menjadi basah dan mengajarkan anak untuk merespon sensasi kandung kemih di malam hari.
• Sebuah sistem penghargaan untuk kering malam.
• Meminta anak Anda untuk mengganti seprai ketika dia kencing.
• Pelatihan kandung kemih: memiliki anak Anda latihan memegang air seni nya lebih lama dan lebih lama kali dalam sehari, dalam upaya untuk peregangan kandung kemih sehingga dapat menampung lebih banyak urin.
Sumber
Written by familydoctor.org editorial staff. Ditulis oleh familydoctor.org staf editorial.
Primary Nocturnal Enuresis: Current Concepts by M Cendron, MD ( American Family Physician March 1, 1999, http://www.aafp.org/afp/990301ap/1205.html ) Primer Nocturnal enuresis: Current Concepts oleh M Cendron, MD (Amerika Dokter Keluarga 1 Maret 1999, http://www.aafp.org/afp/990301ap/1205.html)
.Enuresis (katakanlah "en-yur-ee-sis") adalah istilah medis untuk tidur-membasahi selama tidur.Bed-membasahi cukup umum dan sering hanya tahap pengembangan.Bed-membasahi lebih umum di antara anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Beberapa penyebab enyuresis.
Faktor genetik (itu cenderung berjalan dalam keluarga)
• Kesulitan bangun dari tidur
• Stres
• Lebih lambat dibandingkan perkembangan normal sistem saraf pusat (yang mengurangi kemampuan anak untuk menghentikan pengosongan kandung kemih dari pada malam hari)
• Faktor-faktor hormonal (hormon antidiuretik tidak cukup dihasilkan, yang merupakan hormon yang memperlambat produksi urin pada malam hari)
• Infeksi saluran kemih
• Kelainan pada katup uretra pada laki-laki atau di ureter pada anak perempuan atau anak laki-laki
• Kelainan di sumsum tulang belakang
• Kandung kemih kecil.
Kebanyakan anak mengatasi tidur-membasahi tanpa pengobatan. Namun, Anda dan dokter Anda dapat memutuskan anak Anda memerlukan perawatan. Ada 2 jenis pengobatan: perilaku terapi dan obat-obatan. Terapi perilaku membantu mengajari anak Anda untuk tidak mengompol. Beberapa perilaku perawatan meliputi:
• Batasi cairan sebelum tidur.
• Mintalah anak Anda pergi ke kamar mandi di awal waktu tidur rutin dan kemudian kembali tepat sebelum tidur.
• Sistem alarm yang berdering bila ranjang menjadi basah dan mengajarkan anak untuk merespon sensasi kandung kemih di malam hari.
• Sebuah sistem penghargaan untuk kering malam.
• Meminta anak Anda untuk mengganti seprai ketika dia kencing.
• Pelatihan kandung kemih: memiliki anak Anda latihan memegang air seni nya lebih lama dan lebih lama kali dalam sehari, dalam upaya untuk peregangan kandung kemih sehingga dapat menampung lebih banyak urin.
Sumber
Written by familydoctor.org editorial staff. Ditulis oleh familydoctor.org staf editorial.
Primary Nocturnal Enuresis: Current Concepts by M Cendron, MD ( American Family Physician March 1, 1999, http://www.aafp.org/afp/990301ap/1205.html ) Primer Nocturnal enuresis: Current Concepts oleh M Cendron, MD (Amerika Dokter Keluarga 1 Maret 1999, http://www.aafp.org/afp/990301ap/1205.html)
pengertian hiperaktif
Hiperaktif
Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik.
Impulsif
Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah.
Problem-problem yang biasa dialami oleh anak hiperaktif.
Problem di sekolah
Anak tidak mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan baik. Konsentrasi yang mudah terganggu membuat anak tidak dapat menyerap materi pelajaran secara keseluruhan. Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kecenderungan berbicara yang tinggi akan mengganggu anak dan teman yang diajak berbicara sehingga guru akan menyangka bahwa anak tidak memperhatikan pelajaran. Banyak dijumpai bahwa anak hiperaktif banyak mengalami kesulitan membaca, menulis, bahasa, dan matematika. Khusus untuk menulis, anak hiperaktif memiliki ketrampilan motorik halus yang secara umum tidak sebaik anak biasa.
Problem di rumah.
Dibandingkan dengan anak yang lain, anak hiperaktif biasanya lebih mudah cemas dan kecil hati. Selain itu, ia mudah mengalami gangguan psikosomatik (gangguan kesehatan yang disebabkan faktor psikologis) seperti sakit kepala dan sakit perut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya toleransi terhadap frustasi, sehingga bila mengalami kekecewaan, ia gampang emosional. Selain itu anak hiperaktif cenderung keras kepala dan mudah marah bila keinginannya tidak segera dipenuhi. Hambatan-hambatan tersbut membuat anak menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak dipandang nakal dan tidak jarang mengalami penolakan baik dari keluarga maupun teman-temannya. Karena sering dibuat jengkel, orang tua sering memperlakukan anak secara kurang hangat. Orang tua kemudian banyak mengontrol anak, penuh pengawasan, banyak mengkritik, bahkan memberi hukuman. Reaksi anakpun menolak dan berontak. Akibatnya terjadi ketegangan antara orang tua dengan anak. Baik anak maupun orang tua menjadi stress, dan situasi rumahpun menjadi kurang nyaman. Akibatnya anak menjadi lebih mudah frustrasi. Kegagalan bersosialisasi di mana-mana menumbuhkan konsep diri yang negatif. Anak akan merasa bahwa dirinya buruk, selalu gagal, tidak mampu, dan ditolak.
Problem berbicara.
Anak hiperaktif biasanya suka berbicara. Dia banyak berbicara, namun sesungguhnya kurang efisien dalam berkomunikasi. Gangguan pemusatan perhatian membuat dia sulit melakukan komunikasi yang timbal balik. Anak hiperaktif cenderung sibuk dengan diri sendiri dan kurang mampu merespon lawan bicara secara tepat.
Problem fisik
Secara umum anak hiperaktif memiliki tingkat kesehatan fisik yang tidak sebaik anak lain. Beberapa gangguan seperti asma, alergi, dan infeksi tenggorokan sering dijumpai. Pada saat tidur biasanya juga tidak setenang anak-anak lain. Banyak anak hiperaktif yang sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari. Selain itu, tingginya tingkat aktivitas fisik anak juga beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan seperti terjatuh, terkilir, dan sebagainya.
Berikut ini adalah faktor-faktor penyebab hiperaktif pada anak :
Faktor neurologik
Insiden hiperaktif yang lebih tinggi didapatkan pada bayi yang lahir dengan masalah-masalah prenatal seperti lamanya proses persalinan, distres fetal, persalinan dengan cara ekstraksi forcep, toksimia gravidarum atau eklamsia dibandingkan dengan kehamilan dan persalinan normal. Di samping itu faktor-faktor seperti bayi yang lahir dengan berat badan rendah, ibu yang terlalu muda, ibu yang merokok dan minum alkohol juga meninggikan insiden hiperaktif
Terjadinya perkembangan otak yang lambat. Faktor etiologi dalam bidang neuoralogi yang sampai kini banyak dianut adalah terjadinya disfungsi pada salah satu neurotransmiter di otak yang bernama dopamin. Dopamin merupakan zat aktif yang berguna untuk memelihara proses konsentrasi
Beberapa studi menunjukkan terjadinya gangguan perfusi darah di daerah tertentu pada anak hiperaktif, yaitu di daerah striatum, daerah orbital-prefrontal, daerah orbital-limbik otak, khususnya sisi sebelah kanan
Faktor toksik
Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet memilikipotensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. Di samping itu, kadar timah (lead) dalam serum darah anak yang meningkat, ibu yang merokok dan mengkonsumsi alkohol, terkena sinar X pada saat hamil juga dapat melahirkan calon anak hiperaktif.
Faktor genetik
Didapatkan korelasi yang tinggi dari hiperaktif yang terjadi pada keluarga dengan anak hiperaktif. Kurang lebih sekitar 25-35% dari orang tua dan saudara yang masa kecilnya hiperaktif akan menurun pada anak. Hal ini juga terlihat pada anak kembar.
Ciri-ciri Anak Hiperaktif.
1. Tidak fokus,
Anak dengan gangguan hiperaktif tidak bisa konsentrasi lebih dari lima menit. Tidak memiliki focus yang jelas dan melakukan sesuatu tanpa tujuan. Cenderung tidak mampu melakukan sosialisasi dengan baik.
2. Sulit untuk dikendalikan
Anak hiperaktif memang selalu bergerak, nakal. Keinginannya harus segera dipenuhi. Tidak bisa diam dalam waktu lama dan mudah teralihkan.
3. Impulsif,
Melakukan sesuatu secara tiba-tiba tanpa dipikir lebih dahulu. Selalu ingin meraih dan memegang apapun yang ada di depannya. Gangguan perilaku ini biasanya terjadi pada anak usia prasekolah dasar, atau sebelum mereka berusia 7tahun.
4. Menentang,
Umumnya memiliki sikap penentang/pembangkang/tidak mau dinasehati. Penolakannya ditunjukkan dengan sikap cuek.
5. Destruktif,
Destruksif atau merusak. Merusak mainan yang dimainkannya dan cenderung menghancurkan sangat besar.
6. Tidak kenal lelah,
Sering tidak menunjukkan sikap lelah, hal inilah yang sering kali membuat orang tua kewalahan dan tidak sanggup meladeni perilakunya.
7. Tidak sabar dan usil,
Ketika bermain tidak mau menunggu giliran,tetapi langsung merebut. Sering pula mengusili teman-temannya tanpa alas an yang jelas.
8. Intelektualitas rendah,
Sering kali anak dengan gangguan hiperaktif memiliki intelektualitas di bawah rata-rata anak normal. Mungkin dikarenakan secara psikologis mentalnya sudah terganggu sehingga ia tidak bisa menunjukkan kemampuan kreatifnya.
Sifat atau sikap anak-anak hiperaktif
- Anak-anak hiperaktif biasanya akan bersikap degil.
- Mereka suka membantah.
- Suka melanggar peraturan terutama di sekolah.
- Lalai dan tidak memberi tumpuan.
- Sering merasa tidak puashati.
- Sering tertekan.
- Menghadapi masalah dalam pelajaran.
- Menghadapi masalah dalam hubungan sosial.
- Cepat takut dan risau.
- Suka berpeluh dan mengalami masalah sakit perut atau cirit birit.
Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik.
Impulsif
Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah.
Problem-problem yang biasa dialami oleh anak hiperaktif.
Problem di sekolah
Anak tidak mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan baik. Konsentrasi yang mudah terganggu membuat anak tidak dapat menyerap materi pelajaran secara keseluruhan. Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kecenderungan berbicara yang tinggi akan mengganggu anak dan teman yang diajak berbicara sehingga guru akan menyangka bahwa anak tidak memperhatikan pelajaran. Banyak dijumpai bahwa anak hiperaktif banyak mengalami kesulitan membaca, menulis, bahasa, dan matematika. Khusus untuk menulis, anak hiperaktif memiliki ketrampilan motorik halus yang secara umum tidak sebaik anak biasa.
Problem di rumah.
Dibandingkan dengan anak yang lain, anak hiperaktif biasanya lebih mudah cemas dan kecil hati. Selain itu, ia mudah mengalami gangguan psikosomatik (gangguan kesehatan yang disebabkan faktor psikologis) seperti sakit kepala dan sakit perut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya toleransi terhadap frustasi, sehingga bila mengalami kekecewaan, ia gampang emosional. Selain itu anak hiperaktif cenderung keras kepala dan mudah marah bila keinginannya tidak segera dipenuhi. Hambatan-hambatan tersbut membuat anak menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak dipandang nakal dan tidak jarang mengalami penolakan baik dari keluarga maupun teman-temannya. Karena sering dibuat jengkel, orang tua sering memperlakukan anak secara kurang hangat. Orang tua kemudian banyak mengontrol anak, penuh pengawasan, banyak mengkritik, bahkan memberi hukuman. Reaksi anakpun menolak dan berontak. Akibatnya terjadi ketegangan antara orang tua dengan anak. Baik anak maupun orang tua menjadi stress, dan situasi rumahpun menjadi kurang nyaman. Akibatnya anak menjadi lebih mudah frustrasi. Kegagalan bersosialisasi di mana-mana menumbuhkan konsep diri yang negatif. Anak akan merasa bahwa dirinya buruk, selalu gagal, tidak mampu, dan ditolak.
Problem berbicara.
Anak hiperaktif biasanya suka berbicara. Dia banyak berbicara, namun sesungguhnya kurang efisien dalam berkomunikasi. Gangguan pemusatan perhatian membuat dia sulit melakukan komunikasi yang timbal balik. Anak hiperaktif cenderung sibuk dengan diri sendiri dan kurang mampu merespon lawan bicara secara tepat.
Problem fisik
Secara umum anak hiperaktif memiliki tingkat kesehatan fisik yang tidak sebaik anak lain. Beberapa gangguan seperti asma, alergi, dan infeksi tenggorokan sering dijumpai. Pada saat tidur biasanya juga tidak setenang anak-anak lain. Banyak anak hiperaktif yang sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari. Selain itu, tingginya tingkat aktivitas fisik anak juga beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan seperti terjatuh, terkilir, dan sebagainya.
Berikut ini adalah faktor-faktor penyebab hiperaktif pada anak :
Faktor neurologik
Insiden hiperaktif yang lebih tinggi didapatkan pada bayi yang lahir dengan masalah-masalah prenatal seperti lamanya proses persalinan, distres fetal, persalinan dengan cara ekstraksi forcep, toksimia gravidarum atau eklamsia dibandingkan dengan kehamilan dan persalinan normal. Di samping itu faktor-faktor seperti bayi yang lahir dengan berat badan rendah, ibu yang terlalu muda, ibu yang merokok dan minum alkohol juga meninggikan insiden hiperaktif
Terjadinya perkembangan otak yang lambat. Faktor etiologi dalam bidang neuoralogi yang sampai kini banyak dianut adalah terjadinya disfungsi pada salah satu neurotransmiter di otak yang bernama dopamin. Dopamin merupakan zat aktif yang berguna untuk memelihara proses konsentrasi
Beberapa studi menunjukkan terjadinya gangguan perfusi darah di daerah tertentu pada anak hiperaktif, yaitu di daerah striatum, daerah orbital-prefrontal, daerah orbital-limbik otak, khususnya sisi sebelah kanan
Faktor toksik
Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet memilikipotensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. Di samping itu, kadar timah (lead) dalam serum darah anak yang meningkat, ibu yang merokok dan mengkonsumsi alkohol, terkena sinar X pada saat hamil juga dapat melahirkan calon anak hiperaktif.
Faktor genetik
Didapatkan korelasi yang tinggi dari hiperaktif yang terjadi pada keluarga dengan anak hiperaktif. Kurang lebih sekitar 25-35% dari orang tua dan saudara yang masa kecilnya hiperaktif akan menurun pada anak. Hal ini juga terlihat pada anak kembar.
Ciri-ciri Anak Hiperaktif.
1. Tidak fokus,
Anak dengan gangguan hiperaktif tidak bisa konsentrasi lebih dari lima menit. Tidak memiliki focus yang jelas dan melakukan sesuatu tanpa tujuan. Cenderung tidak mampu melakukan sosialisasi dengan baik.
2. Sulit untuk dikendalikan
Anak hiperaktif memang selalu bergerak, nakal. Keinginannya harus segera dipenuhi. Tidak bisa diam dalam waktu lama dan mudah teralihkan.
3. Impulsif,
Melakukan sesuatu secara tiba-tiba tanpa dipikir lebih dahulu. Selalu ingin meraih dan memegang apapun yang ada di depannya. Gangguan perilaku ini biasanya terjadi pada anak usia prasekolah dasar, atau sebelum mereka berusia 7tahun.
4. Menentang,
Umumnya memiliki sikap penentang/pembangkang/tidak mau dinasehati. Penolakannya ditunjukkan dengan sikap cuek.
5. Destruktif,
Destruksif atau merusak. Merusak mainan yang dimainkannya dan cenderung menghancurkan sangat besar.
6. Tidak kenal lelah,
Sering tidak menunjukkan sikap lelah, hal inilah yang sering kali membuat orang tua kewalahan dan tidak sanggup meladeni perilakunya.
7. Tidak sabar dan usil,
Ketika bermain tidak mau menunggu giliran,tetapi langsung merebut. Sering pula mengusili teman-temannya tanpa alas an yang jelas.
8. Intelektualitas rendah,
Sering kali anak dengan gangguan hiperaktif memiliki intelektualitas di bawah rata-rata anak normal. Mungkin dikarenakan secara psikologis mentalnya sudah terganggu sehingga ia tidak bisa menunjukkan kemampuan kreatifnya.
Sifat atau sikap anak-anak hiperaktif
- Anak-anak hiperaktif biasanya akan bersikap degil.
- Mereka suka membantah.
- Suka melanggar peraturan terutama di sekolah.
- Lalai dan tidak memberi tumpuan.
- Sering merasa tidak puashati.
- Sering tertekan.
- Menghadapi masalah dalam pelajaran.
- Menghadapi masalah dalam hubungan sosial.
- Cepat takut dan risau.
- Suka berpeluh dan mengalami masalah sakit perut atau cirit birit.
Langganan:
Postingan (Atom)