Senin, 22 Februari 2010

agresivitas

AGRESIVITAS.

Pengertian dan Jenis-jenis Agresivitas.

Agresivitas dapat diartikan sebagai perilaku atau kecenderungan perilaku yang diminati untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis (Buss & Perry, 1992; Baron & Byrne, 2004). Mereka yang frustrasi (merasa gagal mencapai tujuannya) adalah orang yang paling mudah melakukan tindakan agresi. Ahli psikologi sosial, yaitu Dollard dan Miller, menerangkan hal di atas dengan frustration-aggression hypothesis (Brigham, 1991; Baron & Byrne, 2004; Nashori, 2008).

Orang-orang yang frustrasi marah terhadap orang-orang yang dianggap sebagai penyebab atau perantara terjadinya rasa sakit. Disakiti atau dilukai perasaannya atau kepentingannya, itulah yang dijadikan alasan oleh sementara orang untuk bertindak agresif. Mereka frustrasi dengan apa yang terjadi, dan jadilah mereka menjarah, membunuh, menembak, melempar batu, memukul, membacok, dan seterusnya.

Pengelompokan jenis agresi menurut berbagai ahli tentu saja cukup beragam, salah satunya adalah pendapat Buss. Indikator atau ciri-ciri agresivitas menurut Buss (Nashori, 2008) meliputi: perilaku agresif secara fisik dan verbal, secara aktif dan pasif, dan secara langsung dan tidak langsung. Tiga klasifikasi tersebut masing – masing akan saling berinteraksi, sehingga akan menghasilkan tujuh bentuk perilaku agresif, yaitu :

1. Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya menusuk, menembak, memukul orang lain.
2. Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya membuat jebakan untuk mencelakakan orang lain.
3. Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak memberikan jalan kepada oarang lain.
4. Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk melakukan sesuatu, menolak mengerjakan perintah oarang lain.
5. Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya memaki – maki orang.
6. Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menyebar gosip tentang orang lain.
7. Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk berbicara dengan orang lain, menolak untuk menjawab pertanyaan orang lain atau menolak untuk memberikan perhatian pada suatu pembicaraan.

Akar Agresivitas: Budaya Kekerasan

Agresi dalam pendidikan terjadi karena pelaku belajar dari lingkungan, termasuk di dalamnya dari media massa. Kekerasan yang berlangsung pada diri Cliff Muntu berkaitan dengan budaya kekerasan yang dihidupkan dan dipelihara di IPDN. Para senior adalah agen yang mentransfer budaya kekerasan itu kepada para juniornya. Kejadian ini berlangsung dari generasi ke generasi sehingga menjadi budaya kekerasan bagi mahasiswa IPDN.

Berkenaan dengan pentingnya faktor lingkungan atau kebudayaan dalam meningkatkan kekerasan dalam dunia pendidikan, ada sejumlah pernyataan dan penelitian serta teori yang diajukan oleh ahli psikologi yang menyatakan bahwa kekerasan manusia (semata-mata) adalah hasil belajar dari lingkungan sosialnya (Wrightsman & Deaux, 1981). Menurut Wrightsman & Deaux, prinsip dasar teori belajar adalah apabila suatu tingkah laku termasuk tingkah laku agresif diberi reinforcement (penguatan) atau reward (hadiah), maka tingkah laku tersebut akan cenderung diulang pada saat yang lain. Teori belajar observasional atau modeling yang dikembangkan oleh Albert Bandura berasumsi bahwa tingkah laku agresif diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan (observasi) terhadap tingkah laku yang ditampilkan oleh individu lain yang menjadi model (Koeswara,1988). Bandura sendiri pernah melakukan eksperimen yang menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan model akan ditiru anak-anak (Monks dkk, 2004).
Pandangan ahli-ahli psikologi sosial di atas memperoleh dukungan empiris dari ahli antropologi. Ruth Benedict (Goble, 1994) dan Brown (Setiadi, 2001) berpandangan bahwa lingkungan sosiallah yang membentuk perilaku agresif atau kekerasan. Ruth Benedict (Goble, 1994) menunjukkan bahwa manusia yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang saling membantu akan menumbuhkan individu individu yang menyenangkan dan penuh kasih sayang. Sebaliknya, masyarakat yang tidak ramah dan jahat akan menghasilkan individu-individu yang berkarakter keras dan agresif. Hal ini dapat kita lihat dari penelitian Ruth Benedict pada masyarakat masyarakat Indian. Benedict meneliti empat kebudayaan yang tidak ramah dan jahat (Chuckchee, Ojibwa, Dobwo, Kwakiutl) dan empat kebudayaan lainnya yang menghasilkan orang orang yang menyenangkan (Zuni, Arapesh, Dakota, dan Eskimo). Ruth Benedict berpendapat bahwa masyarakat yang tidak dikuasai oleh agresi atau kekerasan memiliki tata tertib sosial yang mengatur bahwa setiap individu, lewat perbuatannya yang sama, melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri sekaligus menguntungkan kelompok. Salah satu kuncinya adalah bahwa non-agresi (atau saling membantu dan kasih sayang) terjadi karena tatanan sosial telah membuat keduanya itu keuntungan diri dan keuntungan kelompok identik (Goble, 1994). Lingkungan, bagaimanapun sangat menonjol peranannya dalam hal membentuk watak, manusia: apakah menjadi agresif atau penuh kasih sayang.


Senada dengan hasil penelitian di atas, Brown (Setiadi, 2001) mengungkapkan bahwa ada hubungan antara budaya dan kekerasan. Brown menemukan bahwa orang Simbu di New Guinea (baca: Papua Nugini) menunjukkan perilaku agresif yang tinggi dibandingkan dengan apa yang ditemukan Robarchek pada budaya Semai. Budaya Simbu memiliki sikap sangat favorable terhadap perilaku agresif. Dalam budaya ini, orang yang dikagumi adalah orang yang agresif. Status sosial yang tinggi diasosiasikan dengan pria, kekerasan dan sikap kompetitif. Sebaliknya, budaya Semai memiliki sikap sangat negatif terhadap perilaku agresif. Orang-orang Semai justru berpendapat bahwa hanya orang-orang jahat yang bisa bertindak dengan kekerasan.

Penelitian empiris yang ditemukan penulis (Nashori & Diana, 2007) di SMA dan SMK Yogyakarta ini searah dengan hasil penelitian Benedict (Goble, 1994) dan Brown (Setiadi, 2001). Lingkungan sehari-hari siswa SMA dan siswa SMK adalah lingkungan sekolah yang sesungguhnya tidak menoleransi adanya kekerasan. Kalaupun ada kekerasan, maka kekerasan atau agresi itu terbentuk di luar lingkungan sekolah, yaitu lingkungan tempat tinggal (rumah, kos-kosan atau kontrakan). Pengaruh lingkungan dalam sekolah lebih besar dibandingkan dengan lingkungan luar sekolah.

Dalam konteks ke-Indonesiaan saat ini, apa yang dilihat oleh warga negara Indonesia melalui media massa atau melalui kehidupan nyata tentang kekerasan yang dilakukan orang kecil seperti Ryan hingga para pemimpin politik dan mantan presiden, akan menjadi ’pelajaran’ bagi mereka, yang menginspirasi mereka untuk bertindak kekerasan. Tentu saja lingkungan kecil seperti sekolah juga menjadi lingkungan yang membuat seseorang berbuat kekerasan atau tidak. Kasus kekerasan di IPDN, perploncoan, menunjukkan adanya faktor lingkungan yang membudayakan kekerasan.


Akar Agresivitas Lain: Biologis, Frustrasi, Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresivitas di antaranya adalah biologis (Buss & Perry, 1992), kognitif (Dodge & Coi, 1987; Dodge & Crick, 1990; Dodge & Newman, 1981), etnis (Ekawati & Nashori, 2001), dzikir (Buchori, 2005), perlakuan orang signifikan (Hidayat, 2004), amarah, frustrasi (Dollard and Miller, 998), cara bersikap terhadap sumber agresi (Nashori, 2004).

1. Biologis.
Diungkapkan oleh Buss dan Perry (1992), Sigmund Freud meyakini bahwa manusia lahir dengan dua sifat dasar, sesuatu yang bersifat biologis atau ada sejak manusia dilahirkan, yaitu eros (dorongan hidup) dan thanatos (dorongan mati). Agresi dan kekerasan adalah salah satu wujud kehendak untuk mati. Apabila agresi dan kekerasan muncul di mana mana dengan frekuensi, kuantitas, dan kualitas yang beragam dan cenderung meningkat, maka pada saat itulah manusia mewujudkan sifat dasarnya. Pernyataan bahwa manusia pada dasarnya agresif memperoleh dukungan dari sejumlah ahli agama. Mereka berpandangan bahwa semua manusia adalah anak-cucu Qabil, padahal Qabil –putra Nabi Adam—adalah seseorang yang tega membunuh saudaranya sendiri (baca boks 1: Kekerasan pertama manusia). Diskusi tentang kebenaran kelamiahan kekerasan dalam diri manusia bisa panjang, karena pendapat yang sebaliknya juga banyak. Nashori (2003) menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia lahir dengan sifat asal positif saja. Ini sesuai dengan jumhur ulama Islam tentang apakah manusia memiliki hanya sifat dasar positif atau positif dan negatif saat dilahirkan. Dengan pandangan demikian, pandangan bahwa manusia secara alamiah agresif belum dapat diterima.

2. Kognisi.
Dekat dengan peniruan adalah aspek kognisi. Agresivitas melibatkan proses perhatian yaitu proses ketertarikan individu untuk mengamati tingkah laku model. Proses ini dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran model dan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya. Model yang sering tampil, tampak menonjol dan menimbulkan perasaan positif pada pengamatnya akan lebih midah mengundang perhatian daripada model yang jarang tampil dan tidak menonjol.

3. Frustrasi.
Frustrasi, adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Bila seseorang hendak pergi ke suatu tempat, melakukan sesuatu, atau menginginkan sesuatu, dan kemudian merasa dihalangi, dikatakan bahwa orang tersebut mengalami frustrasi. Salah satu prinsip dalam psikologi adalah frustrasi cenderung membangkitkan perasaan agresif. Pengaruh frustrasi terhadap perilaku diperlihatkan dalam penelitian klasik yang dilakukan Barker, Dembo dan, Lewin. Kepada sekelompok anak, ditunjukkan ruangan yang penuh berisi mainan yang menarik, tetapi mereka tidak diijinkan untuk memasukinya. Mereka berdiri di luar, memperhatikan mainan mainam itu: ingin memainkannya tetapi tidak dapat meraihnya: Sesudah menunggu beberapa saat, mereka diperbolehkan untuk bermain dengan mainan tersebut: Kelompok anak yang lain diberi mainan tanpa dihalangi terlebih dahulu. Anak-anak yang sudah mengalami frustrasi membanting mainan ke lantai, melemparkannya ke dinding dan pada umumnya menampilkan perilaku merusak, anak anak yang tidak mengalami frustrasi jauh lebih tenang dan tidak menimbulkan perilaku merusak.

Kekerasan material yang dilakukan oleh guru dan dosen kemungkinan disebabkan oleh rasa frustrasi. Sudah kita ketahui bahwa sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk guru, memperoleh penhasilan yang sangat terbatas. Keterbatan materi yang mencekik menjadikan dosen dan guru menggunakan kekerasan material.


Mengatasi Agresivitas dalam Pendidikan

1. Membentuk lingkungan yang shaleh dan menghargai martabat manusia: Di sekolahan/kampus dihidupkan aktivitas keberagamaan, seperti pengajian rutin (untuk guru/murid), shalat berjamaah, pembacaan dzikir dan al-Qur’an secara bersama-sama, dsb. Di sini juga ada aturan yang jelas yang melarang perbuatan jahat yang menyakiti/mengganggu orang lain, memberi penghargaan yang tepat untuk setiap prestasi yang diraih. Pesantren adalah contoh komunitas yang menggunakan pendekatan ini.

2. Memberi hukuman yang setimpal: Orang yang melakukan kesalahan (menyakiti orang lain) dibalas dengan hukuman yang setimpal oleh pihak berwenang. Tujuannya adalah membuat pelaku jera. Ini cocok kekeraan fisik. Tepat untuk orang yang rasional (selalu mempertimbangkan untung rugi atas perilakunya). Misalnya: skors atau drop out.

3. Menjamin adanya akses untuk memperoleh kemudahan hidup dan kesamaan hak untuk mendapatkan keperluan hidup sehingga dapat mengurangi sumber frustrasi: memperoleh penghasilan dan tunjangan yang memadai.

4. Mengembangkan sikap positif: Mengembangkan sikap positif terhadap keadaan apapun yang terjadi (sehingga membuat seseorang tidak terpancing untuk bertindak penuh kekerasan) seperti berprasangka baik (khusnudhdhon), lapangdada, dsb

5. Menggunakan paradigma dan teknik belajar yang dapat dinikmati subjek didik dan tidak menimbulkan amarah, frustrasi, dll. Contoh: Problem based learning, student centered leraning, quantum learning.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar